Normal versus Caesar?


Akhir-akhir ini ramai sekali bahasan tentang melahirkan secara normal versus caesar, khususnya di media sosial facebook. Ada ang pro, ada ang kontra, ada yang merasa bangga bisa melahirkan normal, ada juga yang sebalikna merasa bangga telah melahirkan secara caesar, ada pula yang berusaha untuk menjadi penengah diantara kedua kubu, wah pokoknya seru sekali membaca berbagai komentar ibu-ibu dalam setiap postingan. Saya sendiri memilih menjadi penikmat suasana tersebut saja, tapi lama-lama rasanya ingin berbagi pengalaman dengan para ibu-ibu ini.

Tulisan ini saya buat berdasarkan pengalaman pribadi saya, kebetulan saya sudah mengalami melahirkan normal dan caesar. Pengalaman lahir normal sekali, dan caesar dua kali. Jika ada ang bertanya pada saya, mana yang lebih enak? saya akan menjawab “tergantung”. Iya, tergantung banyak hal, tergantung dari sudut pandang mana mau dicermati, yang jelas selama bunda dan bayinya sehat, bagaimanapun cara lahirnya harus banak-banyak bersyukur, karena masih banyak sahabat-sahabat di luar sana yang masih menantikan kehadiran buah hati, atau yang masih harus berjuang agar baby atau bundanya bisa sehat kembali.

Anak pertama saya lahir normal, kebetulan lahirnya juga di klinik tante saya di bekasi. Diawali pada minggu sore, ketika keluar lendir dan flek, malam itu juga saya periksa ke rumah sakit islam, di mana tante saya yang bidan itu bertugas. Kebetulan pula, saat itu tante saya sedang dirawat karena gejala DB (bidan juga bisa digigit nyamuk lho ya…) namun kondisinya sudah membaik. Setibanya di rumah sakit, saya di USG, di rekam jantung, dan diperiksa sudah bukaan berapa. Hasil USG, dan rekam jantung bagus, baru bukaan satu katanya. Tante saya memberikan saran untuk pulang saja ke rumah, dari pada tidur di rumah sakit, nanti kembali lagi ke rumah sakit jika mulasnya sudah semakin sering. akhirnya malam itu kami langsung pulang ke rumah, tidur di rumah (lebih enak tidur di rumah, bisa minta dipeluk suami kan). Sekitar pukul 8.00 pagi, saya telpon tante, rupanya dia sudah di rumah, sebelum ke rumah sakit, saya mampir ke rumah yang bersebelahan dengan klinik beliau, diperiksa baru bukaan dua. katanya sih kalau anak pertama memang suka lama nunggunya, jadi diputuskan untuk menunggu dulu di rumah tante saya, kami sudah menyiapkan segala sesuatunya, driver sudah stand by, perlengkapan bayi dan perlengkapan persalinan juga sudah ada di mobil. Eh, tiba-tiba pukul 10 pagi, air ketuban saya pecah dulu, nah oleh tante saya langsung diminta tiduran di kamar bersalin, kemudian di infus (saya baru tahu kalau itu ternyata di induksi). Sejak itu mulesnya mulai intens, saya ditemenin suami dan keluarga. Sempet makan dulu pake sayur lodeh, dan habis sepiring. Saya memang tipenya kalau sakit tidak teriak-teriak, tapi pilih menggigit handuk kecil. Hm,..mulai mendekati waktu dhuhur sakit mulai terasa lebih intens. Yang saya rasakan sebenarnya sih lebih ke punggung yang pegal, pinggang pinginnya di elus-elus dan dipijit. Mulesnya juga ya seperti kalau mau buang air besar saja. Begitu juga ketika saya mules, saya bilang tante saya, duh saya enggak kuat nih  pingin “ee” trus tante saya bilang, tunggu tahan dulu,diajarinya saya mengejan. setelah itu baru dia bilang, ya keluarin aja “ee”-nya, daaaaaan ya ampun, memang keluar lho. Setelah itu, saya mengejan lagi eh,…. baby saya keluar, langsung ditanggapi poponya. Masaallah,… leganya ya seperti kalau habis BAB. Setelah itu, saya diminta mengejan lagi untuk mengeluarkan ari-ari. Alhamdulillah, pukul 14.00 saya sudah bisa turun dari tempat tidur, mandi, dan menggendong bayi yang lucu yang bermata jeli sejak lahir itu. Pengalaman itu, menyadarkan saya bahwa ternyata melahirkan normal tidak sehoror yang saya lihat difilm-film. Bahkan driver saya saja sampai heran, karena tidak mendengar suara teriakan di klinik yang tidak seberapa besar itu, kok tiba-tiba bayinya sudah keluar dari ruang bersalin.

Anak kedua saya, kebetulan lahir caesar. Sebenarnya saya sejak awal berniat lahir normal lagi, sudah cari rumah bersalin yang cukup nyaman, bahkan sudah ikut program akupuntur juga di klinik tersebut. Saya juga rajin jalan pagi untuk mendukung niat ini, namun pada saat akhir, saya baru menadari bahwa kehamilan ke dua saya merupakan hamil menggantung, jadi si baby bisa betah banget di dalam perut dan baru masuk panggul kalau benar-benar sudah mau keluar. Meskipun saya rajin banget jalan pagi, tetap saja sang baby belum mau masuk-masuk ke panggul sampai minggu ke 40 karena ketubannya juga masih banyak banget. Karena konstrain waktu, akhirnya saya dan suami sepakat untuk memilih caesar pada hari itu juga karena besok adalah hari libur. Caesar pertama ini meskipun dilakukan sebelum saya merasakan mulas, tapi yang saya rasakan setelah operasi selesai sungguh luar biasa. Saya bilang, sakitnya masyaallah, ketika operasi saya juga muntah beberapa kali karena puasanya kurang lama (kami putuskan caesar jam 8 pagi dan operasi dilaksanakan habis ashar). Masa setelah operasi adalah masa terberat, bergerak sedikit saja, sakit rasanya, ngilu di bagian jahitan, jantung saya rasanya berdetak lebih cepat, menyusui juga susah. Belum lagi pas hari ketiga setelah caesar, saya diajari berjalan pertama kali, ya Allah, rasanya minta ampun deh, untungnya perawatnya sangat sabar dan telaten. Nah, perjuangan belum usai lho,.. masih harus merawat perban sampai kering di rumah, dan kembali lagi membuka perban tersebut. Saat itu, saya tahu bahwa melahirkan secara caesar jauh lebih berat daripada sewaktu normal. Alhamdulillah, dua minggu pasca melahirkan caesar saya sudah bisa kembali ke kampus, dan mengikuti kuliah Prof. Utari waktu itu.

Karena pengalaman caesar pertama agak horor, dan saya kurang puas dengan hasil jahitan yang kurang mulus (he..he..he.. secara ini sangat menyebalkan buat saya setiap kali melihatnya) sehingga ketika hamil anak ke-tiga, kami mencari Rumah Sakit yang berbeda, dengan dokter yang lebih berpengalaman dan lebih senior. Rupanya hal ini memberikan pengalaman caesar yang berbeda pula. Caesar anak ke tiga, alhamdulillah saya rasakan sangat nyaman. Bahkan saat operasi berlangsung, saya dalam kondisi yang sepenuhnya sadar, malah bisa berbincang-bincang dengan tim medis dan dokter. And you know what?! ada tim medis yang diminta sang dokter mengabadikan detik-detik proses keluarnya sang baby ganteng pakai HP beliau lho, sempet photo-photo juga hi..hi..hi… Suasananya tidak mencekam, dan alhamdulillah proses berjalan lancar. Sehari setelah operasi, saya sudah bisa jalan ke kamar mandi sendiri. Ketika belajar bergerak, duduk, dan jalan saya bisa lalui tanpa bantuan perawat. Hasil jahitan juga tidak terasa ngilu, dan ketika dibuka hasilnya sangat memuaskan, seperti yang saya harapkan :).

Dari ketiga pengalaman melahirkan tersebut, hal yang paling penting dicermati adalah bahwa bagaimanapun prosesnya yang paling penting adalah baby dan bundanya selamat dan sehat. Ketika melahirkan anak pertama saya, saya memotivasi diri sendiri dengan berkata “jaman dulu saja ketika proses bersalin masih sangat primitif, banyak ibu yang punya banyak anak, jadi walaupun mungkin sakit tapi InsyaAllah sudah terukur kok” dengan memikirkan hal ini membantu saya berpikiran positif dan melewati rasa takut ketika bersalin normal. Sedangkan ketika bersalin via caesar, saya memotivasi diri dengan mengatakan bahwa”Tenang saja, bukankah sekarang teknologi medis sudah sangat maju, dan kita sudah ikhtiar maksimal dengan memilih dokter dan rumah sakit yang terbaik menurut kita, sisanya tinggal berdoa kepada Allah agar prosesnya dipermudah dan dilancarkan”.

Saran saya, jika memang sudah memutuskan untuk caesar atau ada indikasi harus caesar, sebaiknya sejak awal sudah memilih tempat, dan dokter yang memang sesuai dengan kondisi kita, baik kondisi keuangan maupun kondisi psikologis.

Bagaimanpaun cara kita melahirkan,yang paling penting adalah bunda dan bayi nya bisa selamat dan sehat selalu. Menjadi ibu bukanlah perkara mudah, dan proses melahirkan barulah awal perjalanan panjang, jadi jangan habiskan waktu hanya untuk berdebat tentang proses melahirkan saja, namun proses menyususi juga tidak kalah penting (Nah, untuk yang ini, saya memang cenderung memihal ASI ekslusif minimal 6 bulan, lain kali saya akan berbagi pengalaman juga soal ini)  dan proses mendidiknya tentunya.