Improvisasi dalam Proses Pembelajaran


Hari ini di kelas Analisis kurikulum, teman saya Bu Asmida yang dengan terpaksa menyiapkan diri sebagai relawan untuk tampil ke depan dapat bernafas lega karena ternyata, sang dosen, DR. Didi Suryadi, M.Ed, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu ingin meyampaikan “sesuatu” (Sttt,.. sepertinya penting nih,…) pada pertemuan kali ini. Ada apa gerangan? Kami bertanya-tanya dalam hati.. (I named this moment is “safe by the accident” 🙂

“O,.. ternyata beliau ingin menyampaikan undangan pengukuhan guru besar yang akan dilaksanakan rabu depan dan hari ini beliau ingin sedikit memberi bocoran isi pidato pengukuhan yang akan disampaikan. Dalam pidatonya nanti beliau ingin menyampaikan sebuah ide yang disebut sebagai “Metapedadidaktik” sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam membentuk pribadi guru matematika yang professional.

Dari penjelasan singkat yang beliau berikan, ternyata matapedadikdaktik adalah sebuah kemampuan antisipatif pedagogic dan didaktik dalam proses pembelajaran matematika yang harus dimiliki oleh seorang guru matematika yang professional. Kemampuan antisipatif pedagogic dapat dimaknai sebagai sebuah kemampuan membuat berbagai macam antisipasi respon siswa yang mungkin muncul dalam proses pembelajaran ditinjau dari sudut pandang materi yang diajarkan. Sedangkan kemampuan antisipasif didaktik adalah sebuah kemampuan membuat berbagai macam antisipasi respon siswa yang mungkin muncul dalam proses pembelajaran ditinjau dari sudutpandang tingkah laku. Menurut beliau, seorang guru harus dapat membuat antisipasi respon siswa yang akan muncul dari setiap treatment yang diberikan guru, agar dapat mengambil tindakan yang tepat dalam waktu yang singkat (di kelas pada saat proses pembelajaran berlangsung). Dan kemampuan ini sebetulnya dapat dibangun ataupun dapat dikembangkan.

Sedangkan saya sendiri, mencoba menjelaskan dengan bahasa yang lebih sederhana yaitu, membangun kemampuan improvisasi guru dalam proses pembelajaran yang didasarkan pada respon siswa, baik dalam hal materi maupun tingkah laku. (dan ini di-amini beliau sebagai sebuah penjelasan yang jauh lebih baik daripada yang beliau utarakan ketika kawan-kawan di kelas masih sedikit bingung).
Saya jadi teringat kembali peristiwa 4 tahun lalu saat saya masih mengajar di salah satu Sekolah Dasar Islam ternama di Solo, saya berdebat hebat dengan kepala sekolah, Pak Budiarjo, mengenai konsep RPP yang beliau inginkan. Menurut saya RPP yang beliau inginkan itu terlalu administrative dan itu, memberatkan guru padahal prakteknya dalam lapangan seringkali kurang berhasil atau tidak berhasil (terlebih karena saya mengajar siswa kelas I). menurut saya, lebih baik RPP dibuat efisien dan efektif namun guru diminta membuat sebuah jurnal, yaitu laporan hasil evaluasi RPP yang baru saja dilewati pada proses pembelajaran dikelas. Hal ini jauh lebih berguna, karena dapat dijadikan referensi baik bagi guru sendiri maupun rekanan ketika bertemu keadaan yang serupa nantinya. Setiap selesai mengajar, saya membuat jurnal tentang apa yang terjadi seharian dikelas, apa yang saya harapkan dari siswa, apa yang pada akhirnya terjadi(respon siswa) dan bagaimana saya menangani masalah-masalah yang muncul tiba-tiba di dalam kelas. Baik dari sudut pandang pedagogic ataupun didaktik. Walaupun ide yang saya ajukan ini disambut baik oleh pak Kepsek, namun tetap saja kebijakan RPP itu harus tetap berjalan(he..he..he..:)). Masih lekat terngiang dalam telinga saya, “RPP yang baik adalah RPP yang dapat dilaksanakan 100% di kelas”. Apa iya?!

Ketika mengajar di SD terutama kelas bawah, sesempurna apapun RPP yang dibuat, maka hanya keajaiban sajalah bila RPP tersebut dapat terlaksana 100%. Anak diusia tersebut sungguh dinamis, penuh keingintahuan, tak terduga, dan penuh gairah. Sehingga hampir setiap hari selalu saja ada kejutan, kejadian-kejadian tak terduga sering terjadi. Suatu hari, ketika saya sedang mengajarkan materi membilang, tiba-tiba seorang anak bertanya, “Bu, kenapa angka 5 gambarnya seperi itu? siapa yang membuatnya Bu?” nah lo? Gimana menjawabnya? Masa sih saya harus menjawab dengan membeberkan sejarah dari penulisan angka yang berasal dari Arab, India dan romawi untuk anak seusia mereka?! Tentu saja kejadian ini jauh dari dugaan saya tentang respon yang akan muncul dari siswa ketika belajar membilang saat itu. Seringkali saat membuat persiapan, saya harus menempatkan pikiran saya, pada posisi mereka. “seandainya saya siswa SD baru pertama kali mengenal bilangan, apa yang terpikirkan oleh saya?” begitulah yang saya lakukan setiap ingin membuat persiapan. Ternyata, hari ini saya menemukan bahwa apa yang pernah saya pikirkan dulu dapat dikembangkan menjadi sebuah teori .Jmengajar oleh dosen saya ini

Meskipun pada dasarnya kemampuan improvisasi dalam mengajar dan mendidik itu merupakan salah satu tacid knowledge, yaitu kemampuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman namun tidak menutup kemungkinan untuk dapat dibangun atau ditingkatkan melalui suatu metode yang didasarkan pada konsep yang diutarakan Pak Didi yaitu, “metapedadikdaktik”.
Nah untuklebih jelasnya, tunggu saja Rabu depan ketika hasil final pemikiran beliau disampaikan pada pidato pengukuhannya. Ok?!