Sudah baca buku “Kartini (Surat-Surat Abendanon-Mandri dan Suaminya)” yang merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda. Tak sengaja saya menemukan buku ini di kos, teronggok di dalam kardus. Berdebu. Buku setebal 605 halaman ini bersampul foto ukiran khas jepara dengan judul “Kartini” yang berwarna perak. Awalnya saya kesulitan membaca judul buku tersebut karena perpaduan warna yang kurang kontras dan jenis font Monotype Corsiva yang membuat dahi saya berkerut-kerut membacanya. Akhirnya, saya langsung buka halaman-halaman awal buku. Ternyata buku tersebut berisi kumpulan surat-surat R.A. Kartini kepada sahabatnya R.M. Ny. Abendandon dan suaminya. Saya sungguh takjub pada bahasa yang digunakan oleh Kartini pada awalnya, Subhanallah…. “bagaimana mungkin seorang wanita yang hidup ditahun 1900-an dapat berbahasa sedemikian indahnya” tentulah ia seorang yang cerdas dan berkepribadian kokoh sebagai seorang wanita. Belum lagi setelah saya baca lembar demi lembar surat pribadi beliau, yang banyak bercerita tentang keadaan beliau beserta keluarganya, lengkap dengan pandangan-pandangan hidup yang tercermin dari pendapat-pendapat yang beliau utarakan memberikan gambaran utuh sosok seorang Kartini.
Eh,..eh,.. bukannya mengkaji jurnal-jurnal atau buku yang mendukung thesis malah kecantol buku Kartini. Akh,.. biar saja! Daripada jenuh menunggu jadwal ujian seminar yang belum pasti, kan lebih baik saya cari hiburan lewat buku. Tahu kan kau, betapa jenuhnya menunggu tanpa kepastian! Ya,.. saya masih harus menunggu minimal 3 mahasiswa lagi untuk bisa seminar proposal. Tapi, biarpun sudah ada 3 mahasiswa masih harus menunggu rapat dosen karena ternyata akan diselenggarakan ujian komprehensif dulu untuk seluruh mahasiswa matematika angkatan saya yang sudah lulus pada semua matakuliah, sehingga jika memungkinkan ujian seminar diundur lagi sambil menunggu beberapa kawan lainnya. Wuih! Jadi saya benar-benar berada dalam situasi menunggu tanpa kepastian jelas. Menjengkelkan! (Sekali waktu saya ingin mengekspresikan kekesalan hati walau hanya dengan sebuah kata..:))
Kembali ke topic semula, walau saya baru tiba pada dokumen surat ke 11 : 21-12-1900. Tapi lembar demi lembar membawa saya memasuki dunia Kartini yang kecewa pada nasib perempuan jawa dalam dominasi kaum pria yang dengan begitu nyata dialami sendiri oleh Kartini, adik-adiknya, ibu kandungnya dan Ibunda tirinya. Bahwasannya perempuan Jawa kala itu, tidaklah memiliki hak untuk memilih jalan hidupnya sungguh memberikan penderitaan yang dalam baginya. Penderitaan itu menjadi sempurna ketika ternyata Kartini yang ingin berjuang meretas jalan bagi perempuan lain sebagai seorang pionir nan hendak mencoba membuat pilihan sendiri atas hidupnya, ternyata berhadapan langsung dengan paradoks-paradoks dalam pilihan-pilihan paling sulit dalam hidupnya.
Sejak kecil mula, kesadarannya tergugah hanya oleh sebuah pertanyaan sederhana, “Apa cita-citamu Kartini?” sahabat kecil perempuan Belanda yang sejak sekecil itu telah memikirkan rencana-rencana hari depannya mengusik harimau hatinya yang tertidur. Bagi perempuan jawa seperti dirinya tiada tujuan lain dalam hidup selain kelak menjadi seorang Raden Ayu. Pendamping pria yang berpangkat, berpendidikan dan bermartabat walau mungkin harus menjadi yang ke-dua, ke-tiga, ke-empat, atau….mungkin ke-sekian Cakrawalanya yang terbuka sebagai dampak hobby membaca berbagai macam buku dan surat kabar berbahasa Belanda* tlah menggugah hati kecilnya akan kesadaran untuk berpikir visioner. Sungguh-sungguh menyakitkan begitu Kartini menggambarkan dalam surat-suratnya yang amat panjang kepada Nyonya Abendanon yang tlah dianggap sebagai ibu, sahabat, kekasih, orang yang teramat dekat dihatinya tempat mencurahkan segala gundahnya dan yang tlah memberikan pencerahan-pencerahan dalam kehidupan Kartini di saat-saat kelam hidupnya yang hampir saja diakhiri dengan riwayat bunuh diri.
Baru tiba pada dokumen 11, saya sudah melanglang wacana. Seperti membaca “The Secret” rahasia-rahasia kehidupan yang tersirat dalam hikmah kehidupan Kartini. Kartini juga tlah memahami bahasa dunia seperti yang Paulo Coelho lukiskan dalam kisah Alchemist-nya. Perhatikan petikan-petikan berikut dan saya yakin sahabat sekalian akan sependapat dengan saya;
Pada dokumen 1: 13-8-1900
“Betapa ganjil dan ajaibnya rasa kasih sayang itu; tidak mau dipaksa, tidak mau diikat di mana pun juga. Datang tanpa diundang tidak disangka-sangka. Dan dengan sepatah kata saja, tetapi sepatah kata yang menjenguk jauh ke dalam kehidupan batin masing-masing mengikat dua jiwa yang sampai sekarang belum saling mengenal dengan ikatan kukuh erat!”
Masih dalam dokumen yang sama saya dapatkan kalimat ini;
“Bahagialah dia yang dalam hidupnya sempat berjumpa dengan semangat dan jiwa manusia yang unggul! Alangkah miskinnya orang yang tidak tahu bahwa ada dahaga lain, ada lapar lain dari lapar perut; papa orang yang tidak dapat mengerti bahwa kecuali ada keluhuran dalam derajat dan pangkat masih ada keluhuran lain yang meniadakan segala-segalanya”
Kedua kutipan di atas menggambarkan betapa bahagianya Kartini dapat berkenalan dengan Nyonya Abendanon.
Sedangkan ungkapan syukurnya pada Tuhan atas nikmat yang diperolehnya disaat kelam masa pingitannya diungkapkan dalam paragraph berikut;
“…..Rasanya ingin bergirang hati membumbung ke angkasa bersama penyanyi-penyayi bersayap itu untuk mempersembahkan terima kasih kami kepada-Nya atas karunia hidup yang indah dan menyenagkan ini. Indah dan nikmatnya hidup ini meski dibaliknya banyak kepedihan dan kegelapan. Bukan kegelapan ini justru akan membuat cahaya itu Nampak lebih terang? Maksud Tuhan terhadap kita baik. Hidup ini diberikan kepada kita sebagai rahmat dan tidak sebagai beban; kita manusia sendiri umumnya membuatnya jadi kesengsaraan dan penderitaan. Betapa baik maksud Pencipta terhadap kita, paling baik kita rasakan dan kita ketahui apabila kita berada di alam bebas-Nya.”
Lihatlan betapa bijaksananya beliau menyikapi setiap sketsa dalam kehidupannya. Maka tidaklah berlebihan bila saya berpendapat bahwa R.A. Kartini adalam perempuan yang amat cerdas atau mungkin paling cerdas pada jaman-nya.
Pada awal dokumen 2: Agustus 1900, saya menemukan paragraph yang membeberkan tentang perihal bahasa jiwa (begitu saya menyebutnya, walau tak sama dengan yang dimaksudkan oleh Paulo Coelho sebagai bahasa dunia namun esensinya serupa).
“Bahasa mana sebenarnya, meskipun kita kuasai dengan baik, dapat mengungkapkan getaran jiwa setepat-tepatnya. Bahasa semacam itu tidak ada. Saya sependapat dengan Nyonya, bahasa seperti itu tidak ada, setidak-tidaknya tidak ada dalam bahasa lisan dan tulis. Tetapi ada suatu bahasa ajaib yang tak terucapkan. Bahasa itu tidak berwujud kata-kata maupun lambing huruf, tetapi artinya dapat dimaklumi serta dipahami oleh siapapun yang memiliki perasaan. Bahasa yang demikian itu dapat dipercaya sepenuhnya karena di dalam seluruh perbendaharaan katanya, kata ‘dusta’tidak terdapat”
Akh,.. baru sampai dokumen 2 saja saya sudah dapat begitu banyak, tentulah semakin ke dalam akan semakin banyak lagi. Namun rasanya tidaklah mungkin saya tuliskan semua dalam blog yang sederhana ini. Saya pikir alangkah baiknya bila sahabat dapat menggalinya sendiri dengan membaca seluruh isi buku ini. Sepantasnyalah bila buku ini menjadi salah satu koleksi bagi perempuan-perempuan cerdas Indonesia. Namun begitu, saya sendiri masih belum survei dimana bisa mendapatkan buku ini.buku yang saya baca ini adalah buku cetakan ke-tiga tahun 2000 hasil terjemahan dari Sulastin Sutrisno yang diterbitkan oleh PENERBIT DJAMBATAN dibagian belakang juga dilengkapi dengan foto-foto R.A Kartini dan beberapa anggota keluarganya.
Setelah saya membaca buku ini sampai di dokumen 11, saya teringat sebuah novel berjudul “The Winst” karya Afifah Afra. Novel pembangun nasionalisme, yang mengisahkan perjalanan anak-anak pribumi yang berjuang melalui berbagai jalur. Latarnya keluarga Rangga Puruhita Suryanegara mirip sekali dengan latar keluarga Kartini yang digambarkan dalam cerita-ceritanya kepada Nyonya Abandanon. Mungkin afifah Afra juga sudah membaca buku ini kali ya,…. Ups,… pikiran saya meloncat-loncat terlalu jauh sepertinya,…. Kembali ke bumi! Ok,.. saya tak berani berjanji untuk berbagi lebih lanjut dari seluruh buku ini karena sepertinya saya sudah banyak punya janji kepada para pengunjung setia blog ini yang belum saya penuhi, L. Tapi jika suatu saat memungkinkan tidak mustahil saya mengulas lengkap seluruh kisah dalam buku ini.
Sejujurnya, walau sudah sejak kecil mula mendengar judul buku yang diterbitkan oleh Kartini, “Habis Gelap Terbitlah Terang” seingat saya seumur-umur baru sekali waktu masih SD dulu saya pernah membaca buku dengan judul tersebut. Tipis sekali! Dan saya sudah lupa apa isinya keculai dibagian belakang terdapat catatan syair dari lagu dengan judul yang sama. Ternyata sesungguhnya begitu banyak buku-buku tentang Kartini baik yang ditulis oleh penulis Indonesia seperti Pramoedya ataupun penulis luar. Saya jadi malu nih,… masa baru sekarang membaca buku tentang wanita yang menjadi ikon emansipasi di Indonesia bahkan sejak saya SD 🙂
*) Saat tiba dibagian ini tiba-tiba pikiran saya meloncat ke masa kini, Saya cermati sebagai bangsa jajahan Belanda yang lamanya tidak tanggung-tanggung, 350 tahun! Tidak banyak yang tersisa dari warisan Bahasa Belanda. Tidak banyak orang pribumi yang mewarisi kemampuan Bahasa Belanda hingga saat ini.Dalam keluarga saya saja, saya tidak menemukan satupun nenek buyut pun yang masih mengingat bahasa-bahasa Belanda walau yang sederhana. Sedangkan untuk Bahasa Jepang masih ada satu nenek yang masih dapat mengingat sedikit banyak bahasa ini. Padahal, di Negara-negara jajahan Inggris, seperti India, Bahasa kaum penjajah ternyata masih dapat eksis hingga sekarang. Kenapa ya kira-kira?