Membuat Rancangan Penilaian Hasil Belajar


Salah satu bagian utama pada proses penyusunan persiapan pengajaran baik terintegrasi dalam silabus maupun RPP adalah merancang penilaian hasil belajar. berikut adalah ulasan tentang materi tersebut, yang disarikan dari bahan-bahan sosialisasi KTSP Dekdikbud tahun 2006. materi ini merupakan salah satu kompetensi dasar yang harus dikuasi mahasiswa FKIP pada mata kuliah perencanaan program pembelajaran matematika.
Pertemuan 9

Tentang Tugas Mahasiswa



Beberapa waktu lalu, saya meminta mahasiswa untuk menjawab tiga pertanyaan terkait dengan pemanfaatan media pembelajaran dalam matematika, ketiga pertanyaan tersebut saya berikan untuk dikerjakan di rumah dan jawabannya dikirim melalui email. Hal ini bertujuan untuk melakukan cek silang apakah semua mahasiswa di kelas sudah mempunyai akun email, atau sudah dapat memanfaatkan fasilitas mengirim dokumen menggunakan email. Say abukan meragukan kemampuan mereka, namun berdasarkan pengalaman waktu studi lanjut dahulu, ternyata memang masih terdapat beberapa mahasiswa yang belum familier dengan “email”. Pertanyaan yang saya berikan dapat dijawab dengan mudah melalui berbagai sumber baik cetak maupun elektronik. Saya yakin dengan bantuan “mbah google” saja berbagai sumber akan segera diperoleh hanya dengan satu kali “klik” saja.

Tujuan implisit dari tugas ini, sebenarnya ingin melihat seberapa mandiri kah mahasiswa dalam berupaya mempelajari topic media pembelajaran. Pada era digital sekarang ini, belajar dapat berlangsung dimana saja dengan berbagai sumber yang tersedia dengan akses yang cukup mudah dan murah, dosen atau guru dan buku teks, bukan lagi satu-satunya sumber paling utama. Semestinya keadaan seperti ini dapat mendorong setiap individu untuk dapat belajar tanpa penghalang ruang, waktu, usia, formalitas institusi, dan fasilitas-fasilitas fisik seperti gedung sekolah. Siapapun dapat belajar apapun dimanapun asalkan ia memiliki keinginan. Justru yang menjadi masalah adalah, membangun “keinginan” dari dalam individu agar mau terus belajar. Bahkan di dalam kelas-kelas dibanyak sekolah saya yakin betul ini masih menjadi masalah. Bagaimana membangun kesadaran bahwa belajar adalah sebuah “kebutuhan” sehingga dengan sendirinya tumbuh “keinginan” dari dalam diri individu untuk belajar. Kembali kepada topic tentang tugas yang saya berikan, saya berharap dengan tugas tersebut, mahasiswa dapat mencari berbagai sumber terkait dan mengkaji untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dengan demikian secara tidak langsung wawasan mereka tentang topic media pembelajaran matematika berbasis komputer akan bertambah juga.

Satu minggu selesai. Tugas mahasiswa satu persatu masuk ke dalam inbox email saya. Saya harus bekerja keras melakukan koreksi di layar computer, membaca halaman demi halaman yang ditulis mereka. Namun, sayang setelah say abaca, banyak sekali jawaban mahasiswa yang hanya sekadar “copy-paste” dari berbagai situs internet, ada pula yang jawabannya hampir sama satu sama lain. Bahkan banyak yang tidak mencantumkan sumber situs yang mereka copy, hal ini membuat saya sedih. Namun demikian ada juga mahasiswa yang mengerjakan tugas dengan baik. Berusaha memberikan jawaban terbaik. Saya cukup puas dengan jawaban tersebut. Kalau dipikir-pikir, buat apa saya capek-capek baca tulisan-tulisan “orang lain” toh saya bisa baca langsung dari sumbernya?! Mengapa mahsiswa tidak berpikir dulu untuk menkaji apakah tulisan yang dibuat orang tersebut benar atau sejalan dengan teori yang dipahaminya? Apakah ada hal yang mungkin bisa ditambahkan dari ide orang lain yang sudah dibaca? Mengapa tidak menulis dengan buah pikirannya sendiri setelah mempeoleh “pencerahan” dengan membaca tulisan-tulisan orang lain?

Ah,.. tentunya banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepala saya. Saya merenung sejenak. Mengapa hal ini bisa terjadi? Bukankan semestinya mahasiswa yang belajar di dalam kelas-kelas dengan dosen atau guru sebagai fasilitator punya semangat belajar lebih tinggi dibandingkan dengan “mereka” yang belajar secara mandiri? Atau justru sebaliknya ya? Mereka yang dapat belajar mandiri tanpa guru/dosen pastilah mereka yang memiliki motivasi tinggi dalam belajar. Dan mereka yang masuk ke ruang-ruang kelas, memang mereka membutuhkan guru/dosen untuk membangkitkan motivasi belajar mereka yang kurang? Wah kalau memang ternyata realitas yang ada adalah yang terakhir ini, maka saya sudah gagal menjadi motivator yang baik. Saya gagal menumbuhkan keinginan yang kuat dari dalam diri mereka untuk belajar.

Hasil perenungan saya berujung pada keputusan untuk memberikan kesempatan kepada para mahasiswa untuk membuat sebuah pengakuan dan mencoba memperbaiki kesalahan yang sudah dilakukannya. Hasilnya sungguh menarik! Bahkan saya sendiri beberapa kali sempat terharu. Jika mereka (mahasiswa) memberikan ijin maka saya akan melanjutkan tulisan ini dengan memaparkan dampak dari kejadian ini.

Semoga Tuhan senantiasa dapat menunjukkan jalan yang benar dan membimbing hamba untuk dapat melaluinya. Amiin.

3 Oktober 2011. Kentingan pukul 10.20.

Reciprocal Teaching dalam Pembelajaran Matematika


learning-math Sebelum saya mencoba memaparkan tentang pembelajaran resiprokal dalam matematika, saya berusaha untuk mengingatkan Mba Heni, bila ingin melakukan penelitian menggunakan strategi ini, maka perlu dipertimbangkan bahwa “goals” penelitiannya tidak boleh jauh-jauh dari karakteristik utama pembelajaran ini. Mudahnya begini, pembelajaran ini lahir dari bidang kajian bahasa, untuk meningkatkan kualitas kemampuan membaca siswa. Nah, jika Mba Heni ingin menerapkannya dalam pembelajaran matematika, semestinya jangan terlalu jauh dari karakteristik dasar strategi ini. Namun demikian, tidak menafikkan bahwa strategi inipun dapat diperluas untuk mengembangkan berbagai kompetensi lain. Berkaitan dengan pertanyaan Mba Heni, Perlu diingat bahwa penyelesaian masalah atau problem solving itu, dapat dilihat dari dua sudut pandang, yang pertama sebagai sebuah cara/proses sedangkan yang kedua sebagai kemampuan. Nah, yang dimaksudkan oleh Mba Heni yang mana?

Bila Strategi ini digunakan untuk meningkatkan kemampuan penyelesaian masalah siswa, Mba Heni harus dapat menyakinkan orang bahwa memang terdapat kaitan antara strategi ini dengan kemampuan penyelesaian masalah, misalnya dengan merujuk pada hasil penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Dalam jawaban ini, saya berasumsi bahwa problem solving yang dipakai dalam mengimplementasikan pembelajaran resiprokal ini adalah problem solving sebagai sebuah cara.

Berikut saya mencoba memberi contoh sederhana penerapannya dalam pembelajaran matematika;

a. Klarifikasi

Setelah bahan teks bacaan diberikan, ini dapat berupa teks mengenai konsep yang ingin diajarkan sekaligus berisi soal yang harus diselesaikan. Pada contoh ini, misalnya teks mengenai lingkaran. Sesuai dengan teorinya pada tahap ini, Siswa diminta untuk mencerna makna dari kata-kata atau kalimat-kalimat yang tidak familier. Maka dibuat pertanyaan apakah mereka mengerti arti kata atau konsep baru dalam teks tersebut, misalnya,

“Jadi apa yang dimaksud dengan lingkaran dalam teks ini?”

“Apa yang dimaksud dengan diameter, jari-jari?”

Karena dalam matematika suatu konsep yang diwakili oleh satu kata dapat memiliki pengertian yang cukup luas, ini berkaitan dengan definisi, sehingga pada tahap klarifikasi ini harus dicek apakah semua konsep baru dalam topik lingkaran sudah dipahami pengertiannya oleh siswa melalui dialog.

Bila dipadukan dengan pendekatan problem solving maka pada tahap ini dapat diberikan sekaligus permasalahannya misal:

“Dari titik P di luar lingkaran ditarik garis PA dan PB menyinggung lingkaran masing-masing di A dan B. dari titik Q di busur besar (atau busur kecil) AB, ditarik garis yang tegak lurus AB, PA, dan PB. Buktikan bahwa panjang garis yang tegak lurus ke AB adalah rata-rata geometri panjang dua garis tegak lurus lainnya”.

Pada langkah pertama ini perlu dicek apakah siswa sudah memahami kata-kata, kalimat-kalimat atau konsep-konsep dalam soal tersebut.

b. Prediksi

Pada tahap ini pembaca diajak untuk melibatkan pengetahuan yang sudah diperolehnya dahulu untuk digabungkan dengan informasi yang diperoleh dari teks yang dibaca untuk kemudian digunakan dalam mengimajinasikan kemungkinan yang akan terjadi berdasar atas gabungan informasi yang sudah dimilikinya. Dari uraian tersebut, jelas diketahui bahwa pada tahap ini diharapkan terjadi koneksi antara konsep yang baru dipelajarinya dengan yang sudah dimilikinya.

Misalnya, konsep lingkaran dengan konsep garis atau sudut. Contoh pertanyaannya,

“Menurutmu apakah lingkaran memiliki sudut?”

“Dapatkah kau melukis garis yang tegak lurus dengan diameter?”

“Bagaimana menghitung luas lingkaran?”

“Bila kita menggambar lingkaran B dengan diameter ½ dari lingkaran A, apakah dapat disimpulkan luas lingkaran B adalah ½ dari luas lingkaran A?”

Berkaitan dengan soal yang diberikan pada tahap prediksi dapat diajukan pertanyaan berikut:

“Konsep apa saja yang kau butuhkan untuk menyelesaikan soal tersebut?”

“Kira-kira langkah apa yang pertama kali harus dilakukan?”

c. Bertanya

Strategi bertanya ini digunakan untuk memonitor dan mengevalusi sejauhmana pemahaman pembaca terhadap bahan bacaan. Pembaca dalam hal ini siswa mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada dirinya sendiri, teknik ini seperti sebuah proses metakognitif. Dari uraian tersebut jelas bahwa pada tahap ini siswa bertanya pada dirinya sendiri untuk melakukan crosscheck tentang apa yang sudah diperolehnya dari proses belajar dan apa yang belum dikuasainya dari keseluruhan konsep yang diajarkan oleh gurunya.

Jadi guru mengajarkan siswa untuk bertanya pada dirinya sendiri. Contoh pertanyaannya sebagai beikut:

“Apakah saya sudah memahami definisi lingkaran?”

“Dari semua definisi yang diberikan, adakah definisi yang belum saya fahami?”

“Apakah saya sudah bisa melukis sebuah lingkaran?”

“Langkah apa saja yang harus saya lakukan untuk melukis garis singgung lingkaran?”

“Konsep apa yang paling mudah dan paling sulit dipahami dari topic lingkaran ini?”

Sedangkan berkaitan dengan penyelesaian soal di atas, dapat diajukan pertanyaan sebagai berikut:

“Apakah saya sudah faham langkah-langkah menyelesaikan soal tersebut?”

“Apakah jawaban saya ini sudah benar?”

“Apakah langkah-langkah yang saya lakukan ini sudah tepat?”

“Adakah cara lain untuk menyelesaikan soal tersebut?”

d. Membuat Rangkuman

Untuk tahap ini, tentu sudah jelas sekali yang paling sederhana adalah meminta siswa untuk membuat ikhtisar dari proses pembelajaran yang berlangsung beserta hasilnya menggunakan bahasa sendiri.

“Konsep baru apa saja yang kita pelajari dalam topik lingkaran ini?”

“Dapatkah saya menjelaskan konsep-konsep tersebut dengan bahasa saya sendiri?”

“Dapatkah saya menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan konsep ini?”

Berkaitan dengan soal yang diberikan, dapat diminta siswa untuk menuliskan jawaban yang lengkap beserta langkah-langkah yang dilakukan kemudian mereka minta untuk menjelaskannya.

Perlu diingat bahwa pembelajaran ini berbasis dialog dan keempat proses tersebut berlangsung dalam kelompok-kelompok kecil.

Saya sendiri lebih cenderung menganjurkan penggunaan pembelajaran resiprokal ini untuk meningkatkan kemampuan membaca dan memahami konsep-konsep yang diajarkan pada Aljabar Abstrak atau Analisis Real dalam pembelajaran matematika. Karena berdasar karakteristik kedua kajian tersebut, pendekatan ini sangat sesuai untuk memahami definisi-definisi yang banyak terdapat dalam kedua bidang tersebut. Berdasar pengalaman saya selama ini, banyak kawan-kawan yang kesulitan membaca teks Alajabar Abstrak dan Analisis Real bahkan dalam Bahasa Indonesia sekalipun.

Ok,.. itulah sekilas contoh tentang pembelajaran resiprokal dalam pembelajaran matematika. semoga bermanfaat. Thanks atas pertanyaan Mba Heni.