Salah Kaprah dalam Memahami Uji Statistik pada Penelitian Pendidikan


Beberapa waktu yang lalu, ketika saya hendak berkonsultasi dengan Prof. Yaya, mengenai rencana seminar internasional di Phuket, secara tidak sengaja saya bareng dengan salah satu mahasiswa bimbingan beliau yang juga akan berkonsultasi mengenai hasil ujicoba instrumen yang dilakukan. Kami berdua masuk bersamaan, saya mendapat kesempatan pertama untuk berkonsultasi, sebetulnya masalah saya tidak berat-berat amat dan butuh waktu sebenta saja, namun seperti kebiasaan beliau, saya sengaja tidak langsung beranjak melainkan turut mendengarkan proses konsultasi mahasiswa beliau yang duduk disamping saya. Dengan begini, alhamdulillah saya mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat sekali, yang belum tentu bisa saya dapatkan di dalam kelas. Dan kebetulan sekali ilmu ini terkait dengan tekda saya pada studi s3 ini yaitu ingin sungguh-sungguh memahami statistik(topik yang sering saya hindari karena saya tidak menyenanginya J)

Mahasiswa tersebut datang dengan membawa berlembar-lembar kertas print-out hasil dari ujicoba instrumen yang dioleh menggunakan ANATES, suatu perangkat lunak yang secara khusus digunakan untuk menganalisa hasil tes dengan serangkaian metode statistik untuk menguji apakah tes tersebut valid dan reliabel.

Berdasarkan print-out dari Ana tes tersebut Pak Yaya bertanya, lalu apa diperoleh dari dari hasil ujicoba ini? Rupanya mahasiswa tersebut bingung, karena tidak menduga akan diberi pertanyaan-pertanyaan seperti ini, sehingga bingung juga menjawabnya. Rupanya Pak Yaya tahu bahwa beliau bingung sehingga Pak Yaya lalu memberikan pertanyaan-pertanyaan spesifik, seperti apa makna dari rataan, standar deviasi, lalu bertanya apa makna setiap simbol dan angka yang diperoleh sebagai hasil Ana tes tersebut. Rupanya mahasiswa beliau ini memang belum mengerti akan semua pertanyaan tersebut. Bahkan Pak Yaya bertanya akan data yang diuji ini data hasil angket atau data hasil tes, data apa saja yang dibandingkan dalam proses analisa tes tersebut. Dari proses diskusi tersebut kesimpulan yang diperoleh adalah mahasiswa tersebut harus mempelajari statistik penelitian kembali karena banyak hal yang belum dipahami untuk dapat mengolah data-data tersebut.

Pak Yaya menjelaskan panjang lebar secara sederhana bahwa pada dasarnya statistik itu memang hanya sekadar alat, data apa saja, angka berapa saja kalau dioleh pasti akan diperoleh hasil, namun tentu saja tidak ada maknanya. Yang paling penting itu justru makna dibalik proses mengolah data secara statistik tersebut. Contoh sederhananya diilustrasikan seperti ini, ada sekelompok siswa yang memiliki nilai ujian sejarah dan nilai ujian matematika, lalu nilai sejarah dan nilai matematika itu dicari korelasinya. Tentu saja dengan mudah akan diperoleh hasilnya. Hanya saja ketika memang diperoleh indeks korelasi yang tinggi apa benar dapat diinterpretasikan bahwa nilai sejarah berkorelasi dengan nilai matematika? Tentu saja ini agak absurd untuk menyimpulkan demikian. Tetapi jika korelasi dilakukan pada nilai fisika dan nilai matematika tentu ketika hasilnya sebagai contoh memiliki korelasi yang tinggi, ini dapat dijelaskan secara logis karena karakteristik kedua mata pelajaran ini hampir sama, sehingga menduga bahwa kedua mata pelajaran tersebut berkorelasi adalah wajar.

Saya jadi ingat dengan salah satu topik yang dibahas dalam buku Freakonomics, bagaimana hasil statistik telah menjerumuskan pada kesimpulan yang salah. Di suatu kota di  Amerika, berdasarkan suatu penelitian tingkat kejahatan menurun diklaim karena peningkatan kinerja kepolisian atau kebijakan yang dibuat pemerintah, ternyata itu salah besar. Yang sesungguhnya terjadi justru tingkat kejatahan menurun karena pada waktu itu di tahun tertentu pemerintah memberlakukan kebijakan tentang dibolehkannya aborsi pada kehamilan yang tidak diinginkan. Hal ini berdampak pada turunnya populasi anak-anak yang lahir tanpa diinginkan, rupanya selama ini banyak kejatan muncul dilakukan oleh anak-anak yang tidak dibesarkan dengan baik karena mereka lahir dari ibu-ibu yang tidak siap atau ibu-ibu yang tidak menginginkan kelahiran mereka.

Nah,.. ternyata statistik bukan sekadar memasukkan data berupa angka-angka saja, namun statistik ini berguna untuk mengungkapkan makna yang terkandung dibalik angka-angka ini. Jadi yang penting itu bukan sekadar serangkaian rumus yang digunakan untuk mengolah angka-angka yang diperoleh dari proses pengumpulan data semata, melainkan interpretasi dan analisis dari hasil pengolahan data tersebut.

Saat itu saya berkesempatan juga untuk dilibatkan dalam diskusi oleh Pak Yaya, saya ditanya mengenai apa sebenarnya makna dari regresi dalam penelitian, untungnya saya baru saja belajar statistik karena baru saja ujian mid semester, sehingga sedikit-sedikit bisa jawab bahwa pada dasarnya regresi itu adalah proses menduga perilaku sekumpulan data yang diperoleh, misalnya apakah datanya cenderung linear atau justru bisa saja mungkin kuadrat, nah kita berusaha mencari model matematika yang tepat untuk menggambarkan perilaku data tersebut. Yah,.. begitulah setidaknya yang saya pahami.

Pada kesempatan kali itu, Pak Yaya memberikan PR kepada mahasiswa tersebut untuk mencari metode MSI guna mengubah data ordinal (hasil angket) menjadi data interval (hasil tes) sebelum dioleh menggunakan Ana Tes.  Awalnya beliau (sang mahasiswa) memasukkan begitu saja data hasil angket yang masih dalam bentuk data ordinal ke dalam perangkat Ana Tes lalu dikorelasikan dengan data hasil tes yang bentuknya merupakan data interval, tentu saja hasil analisa Ana tes menjadi tidak dapat diinterpretasikan dengan benar karena kedua data itu tidak sama skalanya. Bahkan data hasil tespun masih rancu yang dioleh itu merupakan skor atau masih bobot tes.

Bukan hanya itu, ada satu lagi salah kaprah yang sering terjadi khususnya dikalangan mahasiswa yaitu, mengenai makna kelas kontrol dan kelas eksperimen. Seringkali kelas kontrol diidentikkan dengan kelas yang menggunakan metode konvensional, dan kelas eksperimen adalah kelas yang diberi perlakukan metode baru. Padahal ini terkait dengan variabel yang dikontrol dan variabel bebasnya. Contohnya kalau ingin menguji apakah model belajar van hiele berbantuan komputer dengan model van hiele tanpa komputer. Dalam penelitian itu maka model belajar van Hiele itu ada di kelas kontrol, sedangkan pembelajaran berbantuan komputer itu adalah variabel bebasnya. Penelitian ini ingin mengetahui apakah dengan bantuan komputer dapat meningkatkan prestasi belajar geometri anak yang yang belajar menggunakan model van Hiele.

Bukan hanya itu, variabel juga seharusnya paralel, jika ingin menguji model pembelajaran ya dipadankan dengan model pembelajaran lagi tidak bisa pendekatan pembelajaran dipadankan dengan model pembelajaran.

Nah, dari hasil konsultasi bersama satu setengah jam itu, ternyata ada banyak ilmu yang saya peroleh. Semoga dengan menuliskan ini bisa berbagi dan bisa juga mendapat masukan barangkali saya ternyata salah memaknai apa yang saya dengar, karena katanya kita hanya bisa mengingat 30% saja dari apa yang kita dengar. Menuliskan apa yang saya dengar ini semoga bisa menghindarkan saya dari lupa akan ilmu berharga yang didapat.

Guru Sebagai Peneliti ( Sesi I Bersama Prof. Foong Pue Yee, Ph.D)


Sejak hari senin 5 November 2012, Prodi Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia(UPI), tempat saya menimba ilmu kedatangan tamu Prof. Foong Pui Yee dari Nanyang University of Education Singapura. Beliau berada di UPI selama satu minggu untuk menyampaikan kuliah umum, menjadi pembicara seminar, dan menguji salah satu calon doktor. Ya,… dalam ujian calon doktor di sini peraturannya mewajibkan untuk menghadirkan penguji yaitu dosen dari luar UPI. Keberadaan Prof. Foong sebagai salah satu penguji yang bukan hanya dari universitas di luar UPI namun sekaligus dari luar negri dan dari universitas dengan reputasi yang sangat baik di Singapura. Kegiatan ini merupakan salah satu rintisan yang dilakukan oleh Prodi Pendidikan Matematika SPS UPI untuk memacu mahasiswanya agar go international.

Prof. Foong, begitu kami menyapanya, memiliki kepakaran dalam bidang pendidikan matematika khususnya pada topik Problem Solving. Selain itu, beliau juga aktif dalam NIE (National Institute of Education) di Singapura, salah satu institusi pendidikan di Singapura, yang banyak memiliki program dalam meningkatkan mutu guru-guru di Singapura. Beliau menyampaikan kuliah umum tentang peranan Problem Solving dalam pendidikan matematika di Singapura dan memberikan kelas seminar lokal tentang tren penelitian para guru matematika di Singapura.

Beruntung, saya mendapatkan kesempatan dan kepercayaan dari Prof. Yaya S. Kusumah, Ph.D., untuk mendampingi Prof. Foong selama di kampus dan sekaligus menjadi moderator pada sesi seminar hari terakhir. Ini merupakan sebuah kesempatan besar untuk banyak belajar dari beliau. Tulisan ini saya buat sebagai rangkuman apa saja yang telah saya dapatkan selama satu minggu ini.

Pada hari pertama dan kedua, beliau mengulas tentang penelitian-penelitian pendidikan matematika yang dilakukan oleh guru-guru di Singapura. Dibagian awal beliau menjelaskan bahwa penelitian dalam pendidikan matematika bukan hanya untuk pada mahasiswa pasca sarjana, akademisi, dan para peneliti profesional namun juga merupakan bagian dari peningkatan profesionalisme guru. Mengapa guru perlu melakukan penelitian ? salah satu jawabnya adalah karena guru merupakan agen perubahan. Guru juga merupakan praktisi di kelas sehingga lebih memahami apa yang terjadi pada para siswa.

Dalam pemaparannya disampaikan bahwa objek penelitian para guru 93 % menjadikan siswa sebagai partisipannya, hanya 1% penelitian yang mengkaji para calon guru atau mahasiswa prakter kerja lapangan mengajar. Level sekolah yang mendominasi dalam penelitian-penelitian pendidikan matematika adalah level sekolah menengah. Sedangkan topik penelitian yang paling banyak dipilih adalah topik problem solving. Hal ini tidak mengherankan karena kebijakan pemerintah Singapura terkait kurikulum pendidikan matematika memang memiliki fokus pada problem solving. Sedangkan isu yang paling mendominasi dalam penelitian pendidikan matematika di Singapura yang paling banyak diminati adalah tentang ranah kognitif, lalu disusul dengan ranah paedagogik, teknologi, kurikulum, afektif, equity, guru, dan ranah bahasa.

Jika ditinjau dari jenis penelitian yang digunakan maka di Singapura, 60% lebih metode pengumpulan data yang digunakan adalah “task assessment” , lalu disusul dengan metode survei, metode quasi eksperimental, studi kasus , metode campuran, analisis dokumen, dan terkahir adalah interview.

Yang menarik adalah bahwa setelah sesi tanya-jawab diketahui bahwa peningkatan kuantitas guru yang melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi di Singapura sebanyak dua kali lipat dari tahun 90an ke awal tahun 2000an adalah kebijakan pemerintah yang memberikan dukungan pada guru baik secara finansial maupun secara regulasi.

Begitulah setidaknya yang saya peroleh pada sesi pertama, hari pertama.  🙂

To be continued…….