Metodologi Penelitian Pendidikan (Sesi 3 Ceramah Ilmiah Bersama Prof. Foong Pui Yee)


PRESENTASI PROF. FOONG PUI YEE (SESI 3)

AN OVERVIEW OF RESEARCH METODOLOGY

Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya, yaitu tentang Teacher Researcher pada hari pertama. Namun, karena pada hari ke dua acaranya diisi dengan kuliah umum tentang materi “ The Roles of Problem Solving in Singapore Curriculum” sehingga materi ini diberikan pada sesi ke- 3 di hari terakhir Prof. Foong memberikan ceramah ilmiah di SPs UPI.

Pada acara ceramah ilmiah tersebut, saya diberikan kesempatan langka sekaligus kehormatan untuk menjadi moderator beliau. Sungguh sebuah tantangan sekaligus motivasi yang memicu saya untuk terus mengasah diri dalam belajar berbahasa inggris, belajar berbicara di depan forum, belajar menjadi pendengar, dan tentunya belajar menjadi moderator yang baik.

Berikut adalah rangkuman hasil ceramah ilmiah plus aktivitas tanya-jawab yang berlangsung selama kurang lebih 3 jam tersebut:

Secara umum Prof. Foong menjelaskan bahwa untuk memulai suatu penelitian sebaiknya diawali dengan membuat “research framework” mungkin dalam bahasa indonesia bisa diartikan dengan “kerangka penelitian”. Kerangka penelitian ini berfungsi sebagai suatu organizer sekaligus merupakan hasil dari kegiatan literatur review yang pertama (maksudnya sebelum kita menemukan masalah penelitian, biasanya kita mencari-cari masalah melalui observasi lapangan dan membaca berbagai macam jurnal). Kerangka penelitian ini yang juga sekaligus membatasai kita pada topik-topik studi tertentu sehingga tidak meluas kemana-mana.

Nah, kerangka kerja ini sedikit-demi sedikit disempurnakan dengan menambahkan  detail pada komponen-komponen utama tersebut hingga seperti berikut ini:

Kerangka kerja ini senantiasa dapat berubah dan berkembang sepertinya (menurut saya pribadi hingga mencapai titik jenuh, yaitu ketika kita sudah merasa yakin dengan pertanyaan penelitian dan tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini baru akan berhenti).

Setelah diperoleh kerangka kerja yang detail dan tetap maka mulailah berpikir mengenai metodologi yang sesuai dengan dengan kerangka kerja tersebut. Disinilah saya sepakat dengan Prof. Foong yang menekankan pada urutan proses yang benar dalam proses penelitian.

Seringkali kita ini mendahulukan memilih metodologi penelitian yang sesuai dengan keinginan kita baru berusaha mencari masalah yang sesuai dengan metologi tersebut. Apakah hal ini salah atau dilarang? Tentu saja tidak! Asalkan Anda adalah peneliti yang berpengalaman dan sudah memiliki kemampuan melakukan berbagai jenis penelitian J jadi dengan mudah Anda bisa memilih metodologi yang sesuai dengan keinginan atau kemampuan Anda. Namun, secara khusus terkait dengan makna dari melakukan suatu penelitian tentu saja ini kurang sesuai apalgai bagi para mahasiswa yang sedang belajar meneliti. Penelitian itu sejatinya memang bermula dari masalah, nah metodologi apa yang sesuai tentaunya tergantung pada masalahnya. Jika masalahnya hanya sekadar melakukan pengujian terhadap teori yang sudah ada atau melakukan pembandingan terhadap implementasi teori-teori yang sudah ada (khususnya dalam bidang pendidikan) tentunya metodologi yang sesuai adalah penelitian kuantitatif.

Dalam penelitian pendidikan setidaknya terdapat lima metode penelitian yang berada dibawah payung metodologi penelitian kuantitaif ini, untuk lebih jelasnya silakan saja baca difile presentasi Prof. Foong di sini. Sedangkan dibawah payung metodologi penelitian kualitatif setidaknya terdapat enam metode penelitian yang dapat dilakukan.

Pada kesempatan kali ini, Prof. Foong tidak menjelaskan panjang-lebar mengenai metodologi penelitian kuantitatif, karena di SPs UPI memang mayoritas penelitian bergenre ini, sehingga dianggap tidak perlu dijelaskan secara detail kembali. Hanya beberapa hal perlu digarisbawahi mengenai metodologi penelitian kuantitaif ini yaitu:

  • Hasil dari penelitian kuantitatif pada dasarnya tidak sekadar berakhir pada keputusan Ho ditolak atau diterima sehingga hasilnya signifikan atau tidak signifikan, melainkan interpretasinya seperti apa, kemudian fokuslah pada hal-hal khusus yang ditemui dari hasil penelitian tersebut seperti pada data-data pencilan yang terjadi.
  • Sekalipun kesimpulan akhirnya misalnya Ho ditolak sehingga sebagai contoh suatu metode mengajar dianggap lebih baik dari metode mengajar yang lain, namun pada dasarnya tidak begitu saja hal ini dapat digeneralisasi secara umum karena subyek dalam penelitian pendidikan biasanya adalah manusia yang tentu saja pada tempat dan waktu yeng berbeda akan memiliki karakteristik yang berbeda, sekalipun telah memenuhi asumsi yang disyaratkan tetap saja suatu metode(yang dianggap sudah baik atau berhasil dalam meningkatkan prestasi siswa) belum tentu akan berhasil diterapkan pada siswa-siswa yang lain ditempat dan waktu yang berbeda.
  • Yang digarisbawahi lagi juga adalah menurut beliau pada dasarnya dalam bidang pendidikan terkait dalam metode eksperimentasi, desain penelitian yang mungkin dipilih hanya desain ekperimentasi semu, hal ini dikarenakan tidak memungkinkan mengambil sampel yang benar-benar acak.

Saya pikir ketiga hal tersebut memang sangat masuk akal, setidaknya hingga tulisan ini saya buat, saya belum memiliki penyamkal atas ketiga hal tersbeut J

Untuk penjelsan mengenai contoh penelitian kualitatif yang diberikan akan saya ulas pada postingan yang berbeda karena ternyata setelah saya cek saya belum menduplikat file ini dari notebook Prof. Yaya. 🙂

Semoga Bermanfaat!

Salah Kaprah dalam Memahami Uji Statistik pada Penelitian Pendidikan


Beberapa waktu yang lalu, ketika saya hendak berkonsultasi dengan Prof. Yaya, mengenai rencana seminar internasional di Phuket, secara tidak sengaja saya bareng dengan salah satu mahasiswa bimbingan beliau yang juga akan berkonsultasi mengenai hasil ujicoba instrumen yang dilakukan. Kami berdua masuk bersamaan, saya mendapat kesempatan pertama untuk berkonsultasi, sebetulnya masalah saya tidak berat-berat amat dan butuh waktu sebenta saja, namun seperti kebiasaan beliau, saya sengaja tidak langsung beranjak melainkan turut mendengarkan proses konsultasi mahasiswa beliau yang duduk disamping saya. Dengan begini, alhamdulillah saya mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat sekali, yang belum tentu bisa saya dapatkan di dalam kelas. Dan kebetulan sekali ilmu ini terkait dengan tekda saya pada studi s3 ini yaitu ingin sungguh-sungguh memahami statistik(topik yang sering saya hindari karena saya tidak menyenanginya J)

Mahasiswa tersebut datang dengan membawa berlembar-lembar kertas print-out hasil dari ujicoba instrumen yang dioleh menggunakan ANATES, suatu perangkat lunak yang secara khusus digunakan untuk menganalisa hasil tes dengan serangkaian metode statistik untuk menguji apakah tes tersebut valid dan reliabel.

Berdasarkan print-out dari Ana tes tersebut Pak Yaya bertanya, lalu apa diperoleh dari dari hasil ujicoba ini? Rupanya mahasiswa tersebut bingung, karena tidak menduga akan diberi pertanyaan-pertanyaan seperti ini, sehingga bingung juga menjawabnya. Rupanya Pak Yaya tahu bahwa beliau bingung sehingga Pak Yaya lalu memberikan pertanyaan-pertanyaan spesifik, seperti apa makna dari rataan, standar deviasi, lalu bertanya apa makna setiap simbol dan angka yang diperoleh sebagai hasil Ana tes tersebut. Rupanya mahasiswa beliau ini memang belum mengerti akan semua pertanyaan tersebut. Bahkan Pak Yaya bertanya akan data yang diuji ini data hasil angket atau data hasil tes, data apa saja yang dibandingkan dalam proses analisa tes tersebut. Dari proses diskusi tersebut kesimpulan yang diperoleh adalah mahasiswa tersebut harus mempelajari statistik penelitian kembali karena banyak hal yang belum dipahami untuk dapat mengolah data-data tersebut.

Pak Yaya menjelaskan panjang lebar secara sederhana bahwa pada dasarnya statistik itu memang hanya sekadar alat, data apa saja, angka berapa saja kalau dioleh pasti akan diperoleh hasil, namun tentu saja tidak ada maknanya. Yang paling penting itu justru makna dibalik proses mengolah data secara statistik tersebut. Contoh sederhananya diilustrasikan seperti ini, ada sekelompok siswa yang memiliki nilai ujian sejarah dan nilai ujian matematika, lalu nilai sejarah dan nilai matematika itu dicari korelasinya. Tentu saja dengan mudah akan diperoleh hasilnya. Hanya saja ketika memang diperoleh indeks korelasi yang tinggi apa benar dapat diinterpretasikan bahwa nilai sejarah berkorelasi dengan nilai matematika? Tentu saja ini agak absurd untuk menyimpulkan demikian. Tetapi jika korelasi dilakukan pada nilai fisika dan nilai matematika tentu ketika hasilnya sebagai contoh memiliki korelasi yang tinggi, ini dapat dijelaskan secara logis karena karakteristik kedua mata pelajaran ini hampir sama, sehingga menduga bahwa kedua mata pelajaran tersebut berkorelasi adalah wajar.

Saya jadi ingat dengan salah satu topik yang dibahas dalam buku Freakonomics, bagaimana hasil statistik telah menjerumuskan pada kesimpulan yang salah. Di suatu kota di  Amerika, berdasarkan suatu penelitian tingkat kejahatan menurun diklaim karena peningkatan kinerja kepolisian atau kebijakan yang dibuat pemerintah, ternyata itu salah besar. Yang sesungguhnya terjadi justru tingkat kejatahan menurun karena pada waktu itu di tahun tertentu pemerintah memberlakukan kebijakan tentang dibolehkannya aborsi pada kehamilan yang tidak diinginkan. Hal ini berdampak pada turunnya populasi anak-anak yang lahir tanpa diinginkan, rupanya selama ini banyak kejatan muncul dilakukan oleh anak-anak yang tidak dibesarkan dengan baik karena mereka lahir dari ibu-ibu yang tidak siap atau ibu-ibu yang tidak menginginkan kelahiran mereka.

Nah,.. ternyata statistik bukan sekadar memasukkan data berupa angka-angka saja, namun statistik ini berguna untuk mengungkapkan makna yang terkandung dibalik angka-angka ini. Jadi yang penting itu bukan sekadar serangkaian rumus yang digunakan untuk mengolah angka-angka yang diperoleh dari proses pengumpulan data semata, melainkan interpretasi dan analisis dari hasil pengolahan data tersebut.

Saat itu saya berkesempatan juga untuk dilibatkan dalam diskusi oleh Pak Yaya, saya ditanya mengenai apa sebenarnya makna dari regresi dalam penelitian, untungnya saya baru saja belajar statistik karena baru saja ujian mid semester, sehingga sedikit-sedikit bisa jawab bahwa pada dasarnya regresi itu adalah proses menduga perilaku sekumpulan data yang diperoleh, misalnya apakah datanya cenderung linear atau justru bisa saja mungkin kuadrat, nah kita berusaha mencari model matematika yang tepat untuk menggambarkan perilaku data tersebut. Yah,.. begitulah setidaknya yang saya pahami.

Pada kesempatan kali itu, Pak Yaya memberikan PR kepada mahasiswa tersebut untuk mencari metode MSI guna mengubah data ordinal (hasil angket) menjadi data interval (hasil tes) sebelum dioleh menggunakan Ana Tes.  Awalnya beliau (sang mahasiswa) memasukkan begitu saja data hasil angket yang masih dalam bentuk data ordinal ke dalam perangkat Ana Tes lalu dikorelasikan dengan data hasil tes yang bentuknya merupakan data interval, tentu saja hasil analisa Ana tes menjadi tidak dapat diinterpretasikan dengan benar karena kedua data itu tidak sama skalanya. Bahkan data hasil tespun masih rancu yang dioleh itu merupakan skor atau masih bobot tes.

Bukan hanya itu, ada satu lagi salah kaprah yang sering terjadi khususnya dikalangan mahasiswa yaitu, mengenai makna kelas kontrol dan kelas eksperimen. Seringkali kelas kontrol diidentikkan dengan kelas yang menggunakan metode konvensional, dan kelas eksperimen adalah kelas yang diberi perlakukan metode baru. Padahal ini terkait dengan variabel yang dikontrol dan variabel bebasnya. Contohnya kalau ingin menguji apakah model belajar van hiele berbantuan komputer dengan model van hiele tanpa komputer. Dalam penelitian itu maka model belajar van Hiele itu ada di kelas kontrol, sedangkan pembelajaran berbantuan komputer itu adalah variabel bebasnya. Penelitian ini ingin mengetahui apakah dengan bantuan komputer dapat meningkatkan prestasi belajar geometri anak yang yang belajar menggunakan model van Hiele.

Bukan hanya itu, variabel juga seharusnya paralel, jika ingin menguji model pembelajaran ya dipadankan dengan model pembelajaran lagi tidak bisa pendekatan pembelajaran dipadankan dengan model pembelajaran.

Nah, dari hasil konsultasi bersama satu setengah jam itu, ternyata ada banyak ilmu yang saya peroleh. Semoga dengan menuliskan ini bisa berbagi dan bisa juga mendapat masukan barangkali saya ternyata salah memaknai apa yang saya dengar, karena katanya kita hanya bisa mengingat 30% saja dari apa yang kita dengar. Menuliskan apa yang saya dengar ini semoga bisa menghindarkan saya dari lupa akan ilmu berharga yang didapat.